wikiberita.net Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia selalu menjadi sorotan publik ketika dinamika internal muncul dalam tubuh pengurus pusatnya. Perbedaan pandangan dalam organisasi besar merupakan hal wajar, namun penyelesaiannya perlu dilakukan dengan cara yang menjaga marwah dan persatuan. Dalam konteks inilah, forum silaturahim di Pesantren Tebuireng menjadi langkah penting untuk meredakan ketegangan dan membuka kembali ruang komunikasi yang lebih sehat.
Pertemuan yang digelar di Tebuireng tersebut menghadirkan unsur mustasyar, syuriyah, hingga tanfidziyah dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kehadiran para kiai sepuh serta pimpinan PBNU menunjukkan bahwa forum ini tidak sekadar seremoni, melainkan momentum mencari titik temu di tengah permasalahan yang sedang dihadapi organisasi.
Dari jajaran syuriyah, hadir Rais Syuriyah PBNU Prof Mohammad Nuh. Sementara dari unsur tanfidziyah hadir H Nur Hidayat bersama sejumlah perwakilan. Pertemuan berjalan dalam suasana tertutup, namun pesan yang disampaikan setelahnya memperlihatkan komitmen kuat untuk menjaga NU tetap solid.
Tebuireng sebagai Tempat Menyambung Suara Kiai Sepuh
Pesantren Tebuireng bukan tempat yang dipilih secara sembarangan. Sejak dulu, Tebuireng dikenal memiliki posisi istimewa dalam perjalanan sejarah NU. Di sanalah para ulama besar mencetak kader-kader bangsa, dan hingga sekarang tetap menjadi rujukan moral dalam konteks keulamaan.
Forum silaturahim ini diinisiasi oleh KH Umar Wahid atau Gus Umar, pengasuh Pesantren Tebuireng. Ia melihat perlunya wadah di mana aspirasi dari berbagai arah dalam tubuh PBNU dapat didengar secara langsung. Hal ini bertujuan agar para kiai sepuh memiliki gambaran utuh mengenai situasi terkini, dan dapat memberikan pandangan yang arif dan menyejukkan.
Prof Nuh menyampaikan bahwa forum seperti ini menjadi media komunikasi dua arah yang dibutuhkan dalam kondisi organisasi yang tengah bergolak. Menurutnya, para sesepuh NU memegang posisi strategis dalam mengurai persoalan yang berkembang saat ini.
Mencari Jalan Keluar Tanpa Memperuncing Masalah
Dalam keterangannya setelah mengikuti forum, Prof Nuh menjelaskan bahwa ia mendapat amanah untuk menyampaikan kondisi aktual yang terjadi di tubuh PBNU. Ia menegaskan bahwa sikap transparan dan dialogis adalah kunci dalam mencari titik penyelesaian.
“Forum ini menjadi wadah agar para kiai bisa mendengar langsung apa yang sedang terjadi, tanpa sekat dan tanpa prasangka,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa pertemuan di Tebuireng merupakan tindak lanjut dari dialog sebelumnya yang telah dilaksanakan di lokasi lain.
Tujuan utamanya jelas: mencari alternatif solusi terbaik demi masa depan Nahdlatul Ulama. Setiap pandangan dicatat, setiap masukan diolah, agar keputusan akhir yang dihasilkan nanti dapat menjadi langkah yang membawa maslahat bagi seluruh warga NU.
Keutuhan dan Marwah NU Harus Tetap Terjaga
Dinamika yang berkembang dalam tubuh PBNU belakangan sempat menyita perhatian publik. Perbedaan pendapat muncul di kalangan pengurus, terutama terkait mekanisme keputusan di jajaran struktural organisasi. Hal ini membuat para kiai sepuh turun tangan untuk menengahi.
Dalam pandangan Prof Nuh, keutuhan NU adalah prioritas yang tidak bisa ditawar. Ia menilai, ketegangan internal hanya dapat diselesaikan melalui musyawarah yang menjunjung adab, tradisi keilmuan, dan penghormatan terhadap para sesepuh. Ruang dialog seperti di Tebuireng menjadi contoh bentuk penyelesaian yang beradab.
Para kiai yang terlibat dalam pertemuan tersebut saling mengingatkan bahwa NU bukan milik kelompok tertentu, melainkan milik umat. Segala keputusan yang ada harus mempertimbangkan kemaslahatan lebih luas dan menjaga NU tetap menjadi rumah besar bagi semua golongan.
Tindak Lanjut Masih Akan Berlanjut
Meski sesi pertama silaturahim di Tebuireng telah selesai, bukan berarti proses ini berakhir. Forum akan terus berlanjut untuk menampung seluruh pandangan yang diperlukan. Suara para ulama senior menjadi fondasi kuat bagi penyelesaian permasalahan organisasi.
Prof Nuh berharap setiap pihak menjaga ketenangan dan tidak memperkeruh suasana. Menurutnya, semua yang terlibat di dalam NU pada dasarnya memiliki tujuan sama: membawa organisasi ini tetap kokoh dan memberi manfaat bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
“Terpenting, kita semua mau mendengar. Bukan hanya menyampaikan argumen, tetapi mendengar demi mencapai keputusan yang terbaik,” tegasnya.
Kesimpulan: NU Harus Tetap Menjadi Rumah Persatuan
Silaturahim di Tebuireng menjadi bukti bahwa NU memiliki mekanisme internal yang matang dalam menyelesaikan konflik. Kebesaran NU dibangun melalui tradisi musyawarah, adab para ulama, dan rasa persaudaraan yang mengakar kuat.
Forum ini memperlihatkan usaha kolektif untuk menahan ego dan mengutamakan kepentingan bersama. Apa pun keputusan nantinya, harapannya NU tetap berdiri sebagai organisasi yang menjadi penuntun moral umat, menjaga keutuhan bangsa, dan mengawal nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah.
Bagi para warga NU, momentum ini merupakan pengingat bahwa perbedaan bukan alasan perpecahan, melainkan peluang untuk memperkaya cara pandang. Selama komunikasi dijaga dan adab tetap diutamakan, NU akan senantiasa menjadi rumah yang menaungi, menenangkan, dan menyatukan.

Cek Juga Artikel Dari Platform musicpromote.online
