wikiberita.net Banjir bandang yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang menyisakan luka mendalam bagi ribuan warganya. Dua desa, yaitu Desa Lintang Bawah dan Sukajadi, kini tinggal cerita. Rumah yang dulunya berdiri kokoh telah berubah menjadi tumpukan kayu, lumpur, dan bangunan roboh yang sulit dikenali. Gambaran kehancuran itu seakan menegaskan bahwa bencana bukan hanya sekadar gelombang air, tetapi juga gelombang kehilangan.
Aceh Tamiang menjadi salah satu wilayah yang terdampak paling parah. Wilayah ini berubah seketika: jalan tak lagi terlihat karena tertutup lumpur, pepohonan tumbang berserakan, dan sisa-sisa kehidupan masyarakat mengambang bersama arus. Banyak keluarga terpisah, ada yang hilang, dan ada yang hanya bisa bertahan tanpa tahu kapan pertolongan tiba.
Rumah Hilang, Harapan Dipertahankan di Atas Atap
Fitriana, seorang penyintas dari Desa Lintang Bawah, masih sulit menuturkan apa yang dilaluinya. Saat banjir datang menerjang, warga berusaha menyelamatkan diri semampunya. Mereka naik ke atap rumah, memanjat pohon, atau bergantung pada benda apa pun yang masih terapung.
“Mereka yang selamat itu tinggal di atas bubung-bubung rumah. Pertolongan enggak ada. Ada juga yang bertahan di atas atap rumah bersama anaknya, yang masih empat tahun. Mereka hidup tiga hari tanpa makan dan tanpa minum,” kisah Fitriana.
Gelap malam datang berkali-kali, namun air tak kunjung surut. Setiap malam terasa lebih panjang dari sebelumnya. Dentuman puing yang terbawa arus dan suara tangisan menjadi satu-satunya tanda kehidupan yang tersisa.
Hingga hari ketiga, sebagian dari mereka masih berada di atas atap rumah. Ada yang mencoba nekat berenang ke tempat lebih tinggi, tetapi arus deras banyak merenggut nyawa.
Tak Ada Bantuan, Kota Menjadi Seperti “Kota Zombie”
Kesulitan akses menjadi penghambat terbesar dalam penyaluran bantuan. Jalanan menuju lokasi terputus total. Meski sinyal sempat pulih, informasi kondisi warga tak serta-merta menjamin datangnya pertolongan.
Selama setidaknya sembilan hari, tak ada bantuan memadai yang sampai ke desa mereka. Warga mulai kehabisan persediaan makan dan air bersih. Kondisi luka dan penyakit mulai muncul, tetapi tidak ada petugas medis yang bisa memberikan pertolongan cepat.
“Keadaannya seperti kota zombie,” ucap seorang warga menggambarkan suasana Aceh Tamiang yang porak-poranda. Suara tangis dan teriakan minta tolong berganti dengan keheningan menakutkan. Bau bangkai memenuhi udara, tanda banyak korban masih tertimbun lumpur dan reruntuhan.
Hilangnya rasa aman membuat warga berebut mempertahankan hidup. Sejumlah toko swalayan dan gudang sembako dijarah. Puluhan orang masuk mengambil makanan apa pun yang tersisa. Tindakan itu bukan karena keserakahan, melainkan insting bertahan hidup ketika tidak ada lagi pilihan.
Bencana yang Menghapus Desa dalam Sekejap
Ketika air surut perlahan, gambaran kehancuran mulai terlihat jelas. Rumah-rumah bergeser dari pondasinya, kendaraan tersangkut di pohon tinggi, dan jejak banjir tampak pada dinding-dinding yang masih berdiri. Sungai yang biasanya tenang berubah menjadi penyebab malapetaka yang menelan desa.
Kini tak banyak yang tersisa di Desa Lintang Bawah dan Sukajadi. Hanya puing-puing bangunan dan memori pahit yang tertinggal. Banyak warga kehilangan sanak keluarga. Ada yang berhasil ditemukan namun tak bernyawa, ada pula yang masih hilang tak tahu rimbanya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat puluhan korban meninggal dunia dan belasan orang terluka di Aceh Tamiang. Jumlah tersebut dikhawatirkan terus bertambah karena masih banyak laporan warga hilang yang belum ditemukan.
Trauma yang Tak Mudah Hilang
Selain kerusakan fisik, luka terbesar sesungguhnya berada di hati para penyintas. Banyak anak kecil kini mengalami trauma. Suara hujan deras saja sudah cukup membuat mereka ketakutan. Orang dewasa pun tak berbeda; sebagian masih terkejut dan belum mampu menerima kenyataan bahwa rumah dan tanah kelahiran mereka telah hilang.
Para relawan kesehatan mental mencoba memberikan dukungan, namun jumlah korban yang membutuhkan pendampingan jauh lebih besar dari tenaga yang tersedia.
Bencana ini juga menghancurkan sumber mata pencaharian warga. Sawah dan kebun rusak parah, alat kerja hanyut terbawa air. Mereka harus memulai lagi dari nol tanpa tahu kapan pemulihan akan benar-benar datang.
Menghadapi Masa Depan dengan Kekuatan yang Tersisa
Meski kondisi masih gelap, semangat hidup warga Aceh Tamiang pelan-pelan kembali tumbuh. Mereka saling membantu, membersihkan desa, dan mengubur keluarga yang ditemukan. Solidaritas menjadi kekuatan utama di tengah kesedihan.
Pemerintah dan sejumlah lembaga kemanusiaan mulai menyalurkan bantuan secara bertahap seiring akses menuju wilayah terdampak mulai terbuka. Namun, jalan menuju pemulihan masih sangat panjang.
Bencana ini meninggalkan pelajaran bahwa manusia sekecil apa pun, selalu berjuang menghadapi alam yang besar. Mereka yang selamat menyimpan harapan bahwa suatu hari desa mereka akan kembali hidup. Bangunan mungkin bisa didirikan ulang, tetapi kenangan tentang perjuangan bertahan di atas atap rumah akan melekat selamanya.

Cek Juga Artikel Dari Platform bengkelpintar.org
