wikiberita – Gubernur Aceh secara tegas menolak wacana pemerintah pusat terkait pemotongan dana transfer daerah yang tengah ramai dibahas dalam forum koordinasi fiskal nasional. Kebijakan tersebut, yang disebut-sebut sebagai langkah efisiensi anggaran negara, dinilai berpotensi menghambat pembangunan di daerah, khususnya di wilayah dengan ketergantungan tinggi terhadap dana alokasi pusat.
Dalam keterangannya, Gubernur Aceh menilai rencana pemotongan dana transfer bukan solusi tepat untuk memperkuat keuangan nasional. Menurutnya, langkah itu justru bisa menimbulkan ketimpangan baru antara pusat dan daerah, terutama di provinsi-provinsi yang masih bergantung pada transfer fiskal untuk mendanai pelayanan publik dan proyek infrastruktur dasar.
1. Pembangunan Daerah Terancam Tersendat
Gubernur menjelaskan bahwa lebih dari 80 persen anggaran belanja Aceh bersumber dari transfer pemerintah pusat, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pemotongan, berapa pun persentasenya, akan berdampak langsung terhadap keberlanjutan sejumlah program strategis daerah seperti peningkatan infrastruktur jalan, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Ia juga menekankan bahwa Aceh masih membutuhkan dukungan fiskal untuk memperkuat ekonomi lokal pasca-pandemi serta mempercepat penurunan angka kemiskinan yang saat ini masih di atas rata-rata nasional.
2. Pemerintah Pusat Diminta Evaluasi Kebijakan Secara Menyeluruh
Dalam rapat koordinasi bersama perwakilan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, Gubernur menyampaikan permintaan agar kebijakan pemotongan dana tidak diberlakukan secara menyeluruh. Ia mengusulkan evaluasi berbasis indikator kinerja daerah, sehingga pemangkasan hanya diterapkan pada provinsi yang tidak memenuhi target kinerja fiskal.
“Kalau daerah sudah berupaya maksimal meningkatkan PAD dan efisiensi, tidak adil bila justru terkena dampak kebijakan yang sifatnya seragam,” ujarnya. Menurutnya, sistem reward and punishment berbasis capaian daerah akan lebih efektif dalam mendorong tata kelola keuangan yang sehat tanpa mengorbankan pelayanan publik.
3. Kekhawatiran terhadap Dampak Sosial dan Ekonomi
Penolakan Gubernur Aceh juga didasari oleh kekhawatiran terhadap efek domino pemotongan dana. Jika anggaran berkurang, proyek pembangunan bisa tertunda, lapangan kerja berkurang, dan aktivitas ekonomi masyarakat akan melambat.
Selain itu, pengurangan transfer juga berpotensi memengaruhi stabilitas sosial, mengingat sebagian besar program pemberdayaan masyarakat di Aceh dibiayai oleh DAK dan DBH. “Kita tidak ingin masyarakat menjadi korban kebijakan fiskal yang tidak berpihak pada daerah,” tegas Gubernur.
4. Sinergi dengan DPRD dan Kepala Daerah Lain
Menindaklanjuti wacana tersebut, Gubernur Aceh berencana menggelar pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) serta seluruh bupati dan wali kota di provinsi itu untuk menyusun sikap bersama. Pemerintah daerah akan mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan sebagai bentuk penolakan kolektif terhadap kebijakan tersebut.
Beberapa kepala daerah kabupaten juga menyatakan dukungannya terhadap langkah Gubernur. Mereka menilai keputusan pemerintah pusat itu akan menekan ruang fiskal dan menghambat target pembangunan daerah yang telah direncanakan sejak awal tahun.
5. Dorongan untuk Dialog Konstruktif dengan Pemerintah Pusat
Meskipun menolak kebijakan tersebut, Gubernur Aceh tetap membuka ruang dialog dengan pemerintah pusat. Ia menegaskan pentingnya komunikasi dua arah agar kebijakan fiskal nasional tidak berdampak negatif pada daerah.
Pemerintah Aceh juga siap menawarkan solusi alternatif, seperti optimalisasi pendapatan daerah, kolaborasi investasi publik-swasta, serta efisiensi pengeluaran non-produktif tanpa mengurangi dana transfer pokok. “Kami mendukung penguatan fiskal nasional, tapi harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan,” ujarnya.
Penutup
Sikap tegas Gubernur Aceh menolak pemotongan dana transfer daerah mencerminkan kekhawatiran banyak kepala daerah terhadap potensi penurunan kapasitas fiskal dan perlambatan pembangunan di daerah. Dalam konteks otonomi, keseimbangan antara pusat dan daerah menjadi hal penting agar pertumbuhan ekonomi nasional berjalan merata.
Ke depan, diharapkan pemerintah pusat dapat meninjau kembali kebijakan ini melalui dialog terbuka dengan seluruh pemangku kepentingan, sehingga kebijakan fiskal yang diambil benar-benar memperkuat, bukan melemahkan, pembangunan daerah di seluruh Indonesia.
